HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Di era
globalisasi sekarang ini makin maraknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh oknum-oknum tertentu guna mencari keuntungan untuk dirinya
pribadi maupun untuk lembaga/perusahaannya, baik di bidang hak kekayaan pribadi
maupun hak kekayaan lembaga/perusahaannya yang termasuk di dalam Hak Kekayaan
Intelektual (HKI). Bahkan
pelanggaran-pelanggaran tersebut telah menjadi bisnis utama dalam mencari
nafkah sebagian masyarakat di negara-negara berkembang.
Secara substantif, pengertian HKI
dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia. HKI dikategorikan sebagai hak atas kekayaan
mengingat HKI pada akhirnya menghasilkan karya-karya intelektual berupa;
pengetahuan, seni, sastra, teknologi, di mana dalam mewujudkannya membutuhkan
pengorbanan tenaga, waktu biaya, dan pikiran. Adanya pengorbanan tersebut
menjadikan karya intelektual tersebut ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai
ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karya-karya intelektual tadi. (Bambang Kesowo,
1998:160-161)
HKI merupakan satu sistem yang
memberikan perlindungan hukum atas karya-karya intelektual seseorang maupun
lembaga atau perusahaannya di bidang industri, ilmu pengetahuan dan seni(hak
cipta), hak kepemilikan industri(desain industri, paten, merek, dan lain-lain).
Selain itu juga, pelanggaran-pelanggaran
tersebut menandakan bahwa masih kurangnya kesadaran pada masing-masing individu
untuk menghargai hasil karya seseorang ataupun perusahaan terhadap barang atau
produk ciptaannya terutama pada hak kekayaan intelektual melalui hak cipta dan
hak paten. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat berupa pembajakan, pemalsuan,
penjiplakan, pengklaiman, dan lain sebagainya. Salah satu contoh dari
pelanggaran tersebut tampak pada pengklaiman yang dilakukan oleh negara lain,
seperti pada karya suara (lagu, musik), karya pertunjukkan (pewayangan, tari,
lenong, dll), karya seni dalam berbagai bentuk (lukis, gambar, kaligrafi, terapan,
batik, dll), serta pada karya-karya lainnya.
Namun
demikian, pada awalnya pemerintah telah membuat Undang-Undang mengenai hak
cipta dan hak paten tersebut guna melindungi kedua jenis Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) itu, salah satu contohnya pada produk karya seni dalam
bentuk Batik. Undang-Undang tersebut diharapkan dapat lebih ditekankan pada
penerapan perlindungannya oleh negara khususnya oleh pihak pemerintah. Tetapi
pada kenyataannya perlindungan Undang-Undang tersebut belum berjalan sebagaimana
mestinya karena masih kurang dalam penerapannya dan Undang-Undang tersebut
masih kurang dipahami secara baik dan benar oleh sebagian masyarakat sehingga
produk karya seni dalam bentuk batik tersebut dengan mudahnya diklaim oleh
negara lain.
Selain itu juga
dengan adanya Undang-Undang tersebut para produsen/pencipta batik ini merasa
terlindungi karena produk/barang ciptaannya telah dihargai dan diakui oleh
masyarakat luas maupun oleh negara. Tetapi pada kondisi nyatanya banyak dari
mereka yang merasa dirugikan karena hasil karyanya tersebut kurang dilindungi
oleh negara khususnya pemerintah. Hal ini juga memberikan dampak yang
signifikan bagi penciptanya, baik dari segi penghargaan, pengakuan, pemunculan
ide, maupun dari segi materil. Dampak yang signifikan itu juga timbul karena
beberapa kendala yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangannya, salah
satu contohnya adalah kendala yang datang dari para pencipta batik itu sendiri
yang tidak dengan segera mendaftarkan/mempatenkan barang/produk ciptaannya. Hal
ini ditandai dengan lamanya proses pendaftaran itu sendiri yang membutuhkan
waktu yang panjang, memakan biaya yang cukup besar, serta dengan anggapan
mereka bahwa telah adanya pengklaiman yang dilakukan oleh negara lain terhadap
barang/produk batik yang mereka produksikan.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Hak Cipta yang menjelaskan
pengertian hak cipta diperkuat lagi dengan Ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan:
“Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak citptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Berdasarkan pada dua ketentuan di atas, maka hak cipta
tersebut dapat di artikan sebagai suatu hak kekuasaan sendiri untuk
memperbanyak atau mengumumkan hasil karyanya yang di buat oleh pencipta produk
atau pemegang produk dan tetap memperhatikan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sedangkan pengertian paten menurut UU No. 14 Tahun
2001 yang menyatakan:
“Hak eksklusif yang diberikan negara kepada penemu
(inventor) di bidang teknologi (proses, hasil produksi, penyempurnaan, dan
pengembangan proses atau hasil produksi) selama waktu tertentu, melaksanakan
sendiri invensinya atau memberika persetujuan kepada orang lain untuk
melaksanakannya, dalam hal ini pemegan paten adalah penemu sebagai pemilik
paten.”
Definisi Hak Kekayaan Intelektual
Menurut W. Rudolf S (2012:3) mengatakan bahwa HAKI atau HKI merupakan hak yang berasal dari
hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan
kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta
berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.
Menurut Dhika augustyas (2012:1) mengatakan bahwa Hak
Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau
peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya.
Adapun Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini
merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata
"intelektual" tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut
adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of
the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Menurut Choir (2010:1) HAKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan
daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai
bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan
manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Sedangkan
menurut Saidin (1995) Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif
Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas
karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak
Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda, yaitu
benda tidak berwujud (benda imateriil).
Berdasarkan pendapat diatas, dapat
disimpulkan bahwa Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang
diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang sebagai hasil
kreatifnya yang di ekspresikan ke khalayak umum dalam bentuk apapun dan
bernilai ekonomis.
SEJARAH PERKEMBANGAN HAKI DI INDONESIA
1.
Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah
ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang
pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah
Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun 1910, dan
UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands
East-Indies telah menjadi angGota Paris Convention for the Protection of
Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari
tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the
Protection of L teraty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman
pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan
perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan
perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun
tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan
pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan
Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia
(sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus
dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
2.
Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan
pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur
tentang Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur
tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman
Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan paten luar negeri.
3.
Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI
mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan
untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku
tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat
dari barang-barang tiruan/bajakan.
4.
10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris
Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision
1967) berdasarkan keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia
dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian
(reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan
Pasal 28 ayat 1.
5.
Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU
No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan
Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan
melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu,
seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
6.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era moderen
sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah
tim khusus di bidang HKI melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan
tim Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan
nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI
dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat
penegak hukum dan masyarakat luas.
7.
19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7
Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
8.
Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32
ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM)
untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang
merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman.
9.
Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat
menyetujui RUU tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun
1989 oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku
tanggal 1 Agustus 1991.
10.
28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19
Tahun 1992 tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan
UU Merek tahun 1961.
11.
Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI
menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of
Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
12.
Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun
1982, UU Paten 1989 dan UU Merek 1992.
13.
Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI
yaitu : (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun
2000 tentang Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu.
14.
Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS
(Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah
Indonesia mengesahkan UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001
tentang Merek, Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada
pertengahan tahun 2002, disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang
menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
15.
Pada tahun 2000 pula disahkan UU No 29 Tahun 2000
Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun
2004.
Seperti telah disinggung di atas,
Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai di bidang perlindungan
hak kekayaan intelektual. Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi
internasional di bidang hak kekayaan intelektual seperti Paris Convention,
Berne Convention, maupun Trade Related Aspects of Intellectuals Property
Rights (TRIPs). Perangkat hokum di bidang hak keyaan intelektual yang
dipunyai Indonesia diantaranya adalah:
a. UU No. 29 Tahun
2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
b. UU No. 30 Tahun 2000
tentang Rahasia Dagang
c. UU No. 31 Tahun
2000 tentang Desain Industri
d. UU No. 32 Tahun 2000
tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
e. UU No. 14 Tahun
2001 tentang Paten
f. UU No. 15 Tahun
2001 tentang Merek
g. UU No. 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta
h. UU No. 7 Tahun 1994
Tentang Ratifikasi Trade Related Aspects of Intellectuals Property Rights (TRIPs)
Ruang Lingkup HAKI
Ruang lingkup HAKI.:
·
Hak Cipta
Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
·
Hak Paten
Hak paten adalah hak ekslusif yang
diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
Prinsip-Prinsip Hak Atas Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :
1.
Prinsip
Ekonomi
Dalam prinsip ekonomi, hak
intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia yang memiliki
manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik hak
cipta.
·
Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan
suatu perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari kemampuan
intelektual, sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan
intelektual terhadap karyanya.
·
Prinsip
Kebudayaan
Prinsip kebudayaan merupakan
pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna meningkatkan taraf
kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
·
Prinsip
Sosial
Prinsip sosial mengatur
kepentingan manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah diberikan
oleh hukum atas suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan
berdasarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/
lingkungan.
Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual
Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual
(HaKI) terbagi dalam dua kategori, yaitu :
1. Hak
Cipta
2. Hak
Kekayaan Industri, yang meliputi :
o Hak Paten
o Hak Merek
o Hak Desain
Industri
o Hak Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu
o Hak Rahasia
Dagang
o Hak Indikasi